Dirundung Pandemi, Industri Perfilman Membutuhkan Strategi Baru
Hulu-hilir industri film nasional harus beradaptasi di tengah pandemi Covid-19 agar bisa terus bertahan. Caranya adalah dengan merumuskan strategi-strategi sampai model-model bisnis baru.
Oleh:
MEDIANA

5 Agustus 2020 07:00 WIB

JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 berpotensi mengubah keseluruhan proses dan bisnis industri film. Pembatasan sosial karena pandemi menyebabkan bioskop-bioskop tutup. Kegiatan produksi film pun harus terhenti.

Akibatnya, cara konsumen menonton film pun beralih melalui platform pemutaran konten beraliran langsung. Sayangnya, pendapatan yang diperoleh dari model pendistribusian seperti itu belum bisa menutup biaya produksi yang sejak semula diformat untuk film layar lebar.

”Pendapatan utama pelaku produksi film sampai sekarang ditopang dari bioskop. Film layar lebar di Indonesia biasanya diputar dulu di bioskop lalu ke televisi. Belum banyak film memang khusus diproduksi untuk model proses bisnis di platform pemutaran konten beraliran langsung,” ujar Ketua Bidang Advokasi Kebijakan Badan Perfilman Indonesia (BPI) Alex Sihar, Senin (3/8/2020), di Jakarta.

Pendapatan utama pelaku produksi film sampai sekarang ditopang dari bioskop. Film layar lebar di Indonesia biasanya diputar dulu di bioskop lalu ke televisi.
Model bisnis konten film untuk platform pemutaran konten beraliran langsung dengan bioskop dan televisi berbeda. Karena berbeda, maka investasi yang dikeluarkan pun tak sama.

Pada 2 Juli 2020 telah terbit Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan serta Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif tentang Panduan Teknis Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 di Bidang Kebudayaan dan Ekonomi Kreatif. SKB ini memuat sejumlah aturan komprehensif mengenai penyelenggaraan layanan museum, taman budaya, sanggar, bioskop, cagar budaya, pertunjukan seni, dan produksi audiovisual. SKB juga memuat formulir cek kesehatan secara mandiri para pelaku seni dan ekonomi kreatif untuk mengukur tingkat risiko mereka terhadap Covid-19.

Menurut Alex, terbitnya panduan itu tidak serta merta cepat mengembalikan pendapatan industri film seperti semula. Apabila ada film yang sudah selesai pasca produksi sebelum pandemi Covid-19, maka pelaku industri harus memikirkan upaya penjualan.

Sementara pada saat bersamaan, bisnis platform pemutaran konten beraliran langsung sedang mencari format yang pas. Operasional Hooq di Indonesia sudah tutup. Operasional Iflix di Indonesia pun dikabarkan terancam bangkrut. Sejumlah sineas Indonesia merugi dengan fenomena itu.

Di dunia, rumah-rumah produksi konten sudah beralih ke distribusi berformat platform beraliran langsung, seperti Disney dan Warner Bros. Keduanya sudah memiliki landasan ekosistem industri konten yang matang.

Sementara itu, bagi produksi film nasional yang baru mau berjalan, penyesuaian-penyesuaian harus dilakukan, mulai dari protokol kesehatan, teknis pengambilan gambar, adegan, cara bercerita, berbicara, sampai kekuatan akting pemain.

Alex lantas mengibaratkan seperti masa Neorealisme Italia yang ditandai dengan penggunaan long take dan long shot sebagai struktur utama film untuk mengirit bahan baku. Pemain non profesional malah naik daun. Apakah akan menjadi seperti itu atau tidak, dia pun tidak bisa memperkirakan secara pasti.

”Sineas-sineas Indonesia tak kalah kreatif. Pekerjaan rumah sekarang adalah mencari skema atau model bisnis yang pas sehingga bisa mencetak lagi pendapatan. Kondisi sinema sekarang tidak bisa disamakan dengan flu Spanyol tahun 1918 karena saat itu belum ada internet dan teknologi digital,” katanya.

Ikuti panduan

Program Director In-Docs Amelia Hapsari, saat dihubungi terpisah, menceritakan, pihaknya berpegang pada dokumen asesmen risiko pembuatan film dokumenter yang diluncurkan Sundance Institute. Dokumen ini berisi sejumlah poin yang harus diperhatikan saat produksi. Sebagai contoh, skenario terburuk ketika terjadi pembatasan sosial wilayah, kesanggupan isolasi mandiri sebelum dan setelah produksi, serta skala risiko produksi bagi kru dan keluarganya.

”Panduan itu bukan melarang produksi film dokumenter, tetapi menelaah rencana produksi selama masa pandemi Covid-19,” ujarnya.

Amelia mengatakan, di Indonesia sendiri, sejumlah pembuat film dokumenter tetap berproduksi, misalnya para sineas Asosiasi Dokumentaris Nusantara yang bekerja sama dengan Kemendikbud melakukan serial Rekam Pandemi. Dari rumahnya dan lingkungannya masing-masing, mereka merekam kejadian.

”Karena pemantauan dan pengawasan produksi tidak ada, maka setiap sutradara dan produser melakukan pengukuran risiko sendiri lalu mengambil langkah-langkah sendiri. Hal ini amat tidak ideal,” ujarnya.

Amelia mengakui bahwa pandemi Covid-19 mengubah cara produksi dan distribusi film dokumenter. Dari segi produksi, akan banyak menggunakan arsip atau stock footage dan ada footage menggunakan kamera-kamera nonprofesional. Sementara pembatasan perjalanan membuat produksi harus lebih bergantung kepada kru lokal dan kerja sama dengan produser atau sutradara lokal. Sebetulnya ini kesempatan baik bagi bakat-bakat dokumenter yang jauh dari pusat industri. Akan tetapi, tantangannya pada standar produksi industri.

Sementara dari segi distribusi, film dokumenter berskala besar yang berambisi rilis di sinema akan terdampak pandemi Covid-19. Film dokumenter kebanyakan tetap bisa menggantungkan saluran distribusi di televisi, platform digital, dan kanal pendidikan.

”Permasalahan film dokumenter sebelum pandemi Covid-19 adalah minimnya pendanaan dan jalur distribusi formal dari dalam negeri. Ini menyebabkan pelaku film dokumenter susah berkolaborasi dengan industri dokumenter internasional,” tutur dia.

Menunggu bioskop

Co-Producer film Sejuta Sayang Untuknya, Asad Amar, saat dihubungi terpisah, menceritakan, film Sejuta Sayang Untukmu sudah selesai produksi Januari 2020. Tiga bulan terakhir, kegiatan pascaproduksi mulai digenjot. Akan tetapi, film tak bisa langsung dipasarkan karena menunggu bioskop buka.

”Kami bukan satu-satunya yang menunggu bioskop dibuka kembali. Bagaimanapun, apabila konten film layar lebar langsung dijual ke televisi, pendapatan tidak menutup biaya produksi. Produser akan rugi,” ujarnya.

Menurut Asad, menjual film yang sejak awal diformat tayang dulu di bioskop ke platform daring juga membuat produser rugi. Alasannya adalah model proses bisnis berbeda.

Keberadaan Panduan Teknis Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 di Bidang Kebudayaan dan Ekonomi Kreatif membuat produksi konten kembali berjalan. Asad bahkan yang juga  sebagai Produser sebuah brand film televisi (FTV) untuk salah satu stasiun televisi swasta tertentu, mengakui produksi menjadi tidak mudah karena harus rutin tes Covid-19, pemberlakuan pembatasan lokasi, dan jam shooting. Hal itu mempengaruhi alur cerita yang dibangun.

”Banyak kru produksi konten film berlatar belakang pekerja lepas. Keterbatasan produksi apa pun itu tetap harus kami jalankan agar bisa menyambung hidup mereka, tetapi tetap dengan protokol kesehatan. Saat bersamaan, kami harus menghadapi, bisnis pelaku televisi sedang terkendala karena penjualan iklan anjlok,” katanya.

Sutradara dan penulis naskah film, Gina S Noer, menyampaikan, film terbarunya berjudul Cinta Pertama, Kedua, dan Ketiga rencananya akan tetap optimis bisa diputar di bioskop. Saat ini, film baru masuk proses produksi.

Dia menceritakan, pada Maret 2020, dia sebenarnya sudah memiliki skenario dan siap shooting. Namun, di masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB), konsep latar cerita film akhirnya diubah dan waktu shooting dimundurkan.

”Tentu ada perubahan kreatif dan prosedur standar operasi. Apabila ada adegan yang membutuhkan kedekatan fisik, kami minta pemain ikut tes usap Covid-19,” katanya.

Gina menyampaikan, terdapat penyesuaian anggaran di berbagai lini agar tetap bisa menjalankan shooting. Tim bukan hanya mengalokasikan biaya untuk menjalankan protokol keselamatan saja, melainkan juga anggaran untuk menambah jumlah hari shooting