Kelompok masyarakat yang menolak pendirian tambang emas di dekat pemukiman mereka. Sebab jika gunung emas yang letaknya tidak jauh dari kampung mereka dikeruk, maka krisis air, longsor dan pencemaran lingkungan akan melanda. Disisi lain pemerintah punya kepentingan untuk mengolah sumber daya alam untuk kesejahteraan seluruh Indonesia.
Perlawanan kelompok masyarakat ini dimotori oleh Rambat(35th)
Rambat bersama warga desa Dukuh menolak jual ladang pada perusahaan tambang emas. “Janji kesejahteraan warga di sekitar tambang hanya mimpi! Sudah banyak contoh-contohnya, Papua, Sumatera dan Sulawesi. Tanah mereka dirongrong, gunung di hancurkan dan mereka tergusur! Trilyunan dolar diambil dari tanah mereka tapi mereka tetap miskin!” begitu kata Rambat membakar semangat warga.
Pemerintah sudah memberikan izin pada perusahaan asal Australia untuk melakukan aktivitas penambangan. Pak Kepala Desa menyampaikan, alasan pemerintah sederhana saja “pemerintah yang saat ini terjerat hutang trilyunan berencana melunasi hutangnya dengan cara membuka penambangan emas baru” Tidak hanya Pak Kades yang terus membujuk Warga, Pak Carik sebagai sekertaris dsa juga terus merayu warga “Ini tentang nasionalisme. Kapan kita membantu Negara melunasi hutang kalau tidak sekarang? Jangan sampai anak cucu kita menanggung hutang trilyunan. Gengsi dong!”
Dibantu Agus(20th) seorang mahasiswa terancam drop out, Rambat berteriak keras menentang pembangunan tembang emas di daerahnya. Karena Agus belum bisa pulang kampung, mereka berkomunikasi lewat telfon. Bahkan saat orasi di depan warga, Agus memakai video call. Orasi Agus sering terputus karena kuota yang tiba-tiba habis atau laptop yang low battery. Lain Agus, lain keanehan Rambat, lelaki yang takut pada Istri itu sering minta ijin ditengah rapat karena istrinya Si Tiwi(30th) selalu rewel saat Rambat lupa mencuci piring atau masak. Maklum Tiwi saat ini sedang hamil anak pertama, jadi bawaannya manja.
Dipihak lain, ada warga yang setuju dengan pembangunan tambang itu, mereka menjual tanah mereka dan berusaha mempengaruhi tetangganya. Karena kondisi ini warga terpecah menjadi dua kelompok. Banyak gesekan kecil akhirnya menjadi permassalahan serius yang menimbulkan permusuhan. Bahkan rumah Rambat diteror dengan dilempari batu.
Suatu hari, Tiwi hendak melahirkan. Rambat pusing karena istrinya tidak bisa lahiran secara normal alias harus operasi. Sebagai kepala demonstran yang menolak pendirian tambang asing, Rambat punya konflik dengan aparat desa. Alhasil, pengurusan surat di rumah sakit agar dapat keringanan biaya jadi terhambat. Macam-macam alasan aparat desa saat Rambat datang minta tanda tangan.
Ketika sedang menemani istrinya melahirkan di rumah sakit, Warga desa sedang bentrok dengan aparat. Mereka kalah dan terpaksa mundur. Agus yang kala itu memimpin aksi mulai sadar, bahwa percuma mereka melakukan demo dan bentrok melawan aparat. Hanya akan sia-sia dan menimbulkan banyak korban. Dia mengusulkan cara lain untuk melawan pabrik tambang emas asing, yaitu melawan lewat jalur hukum, namun Rambat justru menolak. Dua tokoh yang selama ini menjadi motor penolakan tambang justru berselisih paham. Dengan keyakinan menggebu-gebu Rambat tetap memimpin demo untuk menyerang aparat kepolisian yang menjaga tambang emas. Bentrok keras antara warga dan polisi tidak bisa dihindarkan. Semakin banyak warga dan polisi yang terluka.
Rupanya memang sia-sia demo yang dilakukan Rambat dan warga lainnya. Sebab tambang emas yang selama ini diyakini dapat dukungan dari pemerintah pusat hanya isapan jempol. Agus yang mendapat informasi dari teman-teman LSM-nya menyampaikan bawah ada oknum pegawai kecamatan dan Kabupaten yang mencoba beramain memanfaatkan keadaan. Mereka bekerja sama dengan makelar tambang untuk menipu rakyat dan aparat desa. Tambang emas itu illegal karena baik presiden ataupun kementrian BUMN tidak pernah memberikan ijin eksplorasi. Warga bersuka cita karena mereka bisa tani dengan nyaman. Tapi bukannya ironis ya, hidup di atas tanah berisi logam mulia tapi tani dan tetap miskin? lalu apa solusinya? Sekolah! Siapkan anak-anak kita untuk mengolah tanah warisan yang dipenuhi dengan emas. Jangan biarkan orang asing datang dan menggagahi alam bumi pertiwi.