Mengapa Kita Bisa Menerima Keajaiban dalam Film?
Saat menonton Superman, kita tidak pernah mempertanyakan bagaimana Clark Kent bisa terbang. Saat menyaksikan Spider-Man, kita menerima begitu saja bahwa seorang pemuda bisa memanjat gedung dan menembakkan jaring dari tangannya. Kita bahkan tidak merasa aneh melihat dunia penuh makhluk luar angkasa di Star Wars atau planet Pandora dalam Avatar. Mengapa kita, yang dalam kehidupan nyata begitu kritis terhadap logika dan hukum alam, justru bisa menerima hal-hal mustahil dalam film tanpa mempertanyakannya?
Jawabannya terletak pada konsep Suspension of Disbelief (SOD), atau kesediaan kita untuk mengesampingkan ketidaklogisan demi menikmati sebuah cerita. Teori ini pertama kali dikenalkan oleh Samuel Taylor Coleridge pada abad ke-19, dan hingga kini menjadi salah satu prinsip utama dalam narasi film dan fiksi.
Logika dalam Film: Realisme Eksternal vs. Internal
Dalam film, terdapat dua jenis realisme:
1. Realisme Eksternal
Ini adalah kesesuaian film dengan dunia nyata yang kita kenal. Film yang memiliki realisme eksternal tinggi biasanya mengikuti aturan fisika, hukum, dan norma sosial yang berlaku dalam kehidupan nyata. Contohnya adalah film drama realistis seperti The Pursuit of Happyness atau 12 Angry Men.
2. Realisme Internal
Sebaliknya, realisme internal adalah aturan yang dibuat dalam dunia film itu sendiri. Film seperti The Lord of the Rings atau Harry Potter tidak realistis dalam arti dunia nyata, tetapi sangat masuk akal dalam batas-batas yang mereka ciptakan. Jika dalam dunia itu sihir adalah hal yang umum, maka tidak ada yang mempertanyakan mengapa tongkat sihir bisa mengeluarkan mantra.
Sebuah film tetap bisa terasa “logis” asalkan konsisten dengan realisme internalnya. Jika di tengah-tengah film tiba-tiba aturan itu berubah tanpa alasan yang jelas, maka barulah penonton akan merasa terganggu.
Hedonic vs. Didactic Processing: Cara Kita Menerima Film
Studi dalam psikologi komunikasi membedakan dua cara kita memproses film:
- Hedonic Processing – Ketika kita menonton untuk hiburan, kita lebih cenderung menerima unsur-unsur fantastis tanpa mempertanyakannya.
- Didactic Processing – Ketika kita menonton untuk memperoleh informasi atau belajar sesuatu, kita akan lebih kritis terhadap logika yang digunakan dalam film.
Ini menjelaskan mengapa kita tidak mempermasalahkan Star Wars tetapi akan sangat kritis terhadap sebuah film dokumenter yang berisi informasi yang keliru.
Magical Realism: Keajaiban dalam Dunia Nyata
Ada pula film yang berada di antara realisme eksternal dan internal, yaitu yang menggunakan Magical Realism. Dalam film seperti Pan’s Labyrinth atau The Shape of Water, unsur-unsur magis muncul dalam dunia nyata tanpa penjelasan logis, tetapi tetap terasa masuk akal karena mengikuti emosi dan simbolisme yang kuat.
Kesimpulan: Film Memiliki Logikanya Sendiri
Pada akhirnya, film tidak harus selalu realistis menurut hukum dunia nyata. Yang penting adalah konsistensi dalam realisme internalnya. Penonton akan menerima apa pun—mulai dari manusia super hingga dunia alien—selama film berhasil membangun dunianya dengan meyakinkan.
Film adalah permainan imajinasi, dan justru dalam ketidakmungkinan itulah kita menemukan keajaiban. Kita tidak menonton film untuk mempertanyakan, tetapi untuk percaya.